1
MASA MUDA (1581-1609)
Vincentius lahir pada tanggal 24 April 1581 di desa Pouy, dekat kota Dax, Perancis barat daya. Keluarganya sungguh sederhana namun tidak amat miskin. Karena itu sejak kecil Vincentius ikut membantu bekerja sebagai penjaga ternak.
Pada umur 15 tahun, sambil menjadi pengasuh anak-anak keluarga De Comet, ia belajar di kota Dax dan sejak saat itu keluarga De Comet menjadi pendukung Vincentius dalam banyak usahanya. Setelah dua tahun di sana, Vincentius melanjutkan studinya di Universitas Toulouse. Ayah Vincentius membuat suatu pengorbanan, yakni menjual sepasang lembu, agar anaknya dapat melanjutkan studi sampai mendapat gelar BA dalam bidang teologi.
Pada tanggal 23 September 1600 Vincentius menerima tahbisan imamat, saat umurnya belum genap 20 tahun. Mengapa tahbisan sebagai imam diterimanya pada usia begitu muda? Harus diakui bahwa bagi orang yang sederhana seperti Vincentius, imamat merupakan jalan yang paling mudah untuk mencapai status sosial yang lebih baik. Hal itulah yang diterangkan oleh Vincentius dalam sebuah surat kepada ibunya. Apa yang diinginkannya saat itu ialah agar ia maju dalam karier, memberi bantuan kepada keluarga dan segera mengundurkan diri ke desanya. Jelas cita-cita seperti itu menunjukkan bahwa dia belum menjadi suci; pelayanan kepada umat dan kepada Gereja sama sekali tidak disinggung.
Seiring dengan cita-citanya itu, Vincentius mengejar beberapa jabatan; bahkan ia pergi ke Roma dua kali untuk maksud itu. Tetapi ia selalu gagal. Kegagalan paling berat adalah ketika dia naik kapal di Laut Tengah. Ia ditangkap bajak laut dan selama dua tahun menjadi budak di Afrika Utara. Setelah bisa kembali ke Perancis, ia tetap mengejar jabatan dan terus mengalami kegagalan.
2
MENUJU ARAH YANG BARU (1609-1620)
Kegagalan-kegagalan beruntun membuat Vincentius berpikir: “Apakah ada sesuatu yang tidak beres dalam hidupku?” Oleh karena itu, dia mencari dan menemukan seorang pembimbing rohani, yakni Romo Pierre de Bérulle. Berkat bimbingan Romo de Bérulle, pelan-pelan Vincentius menyadari bahwa seorang imam harus memberikan hidupnya untuk Tuhan dan sesama.
Berkat uluran tangan Romo de Bérulle pula, Vincentius mendapatkan beberapa tugas. Pertama-tama, ia bekerja sebagai kapelan mantan Ratu Margareta de Valois. Tugasnya adalah membagi derma kepada orang miskin. Selanjutnya, pada bulan Mei 1612, ia menjadi Pastor Paroki Clichy, dimana ia giat dalam pembinaan katekese, liturgi dan juga pembinaan anak-anak muda yang berminat menjadi imam. Akhirnya, pada akhir tahun 1613, Vincentius diminta menjadi pengasuh anak-anak keluarga Gondi. Karena gaya hidupnya yang menyerupai seorang biarawan, maka Bapak dan Ibu Gondi memilih dia sebagai pembimbing rohani di istana mereka.
Patut dicatat bahwa selama tahun-tahun ini, ada dua peristiwa yang kemudian akan menentukan arah hidupnya. Kedua peristiwa itu terjadi di Folleville dan di Châtillon-les-Dombes.
Folleville
Pada bulan Januari 1617, Vincentius berada di Folleville bersama keluarga Gondi. Suatu hari, Vincentius dipanggil ke desa Gannes karena di desa itu ada seorang tokoh umat yang sedang mendekati ajalnya dan ingin mengaku dosa kepadanya. Romo Vincentius datang dan petani itu mengakukan dosa-dosa seluruh hidupnya. Deretan dosa yang diungkapkannya cukup panjang karena sampai saat itu tokoh umat yang dipandang saleh ini malu mengakukan dosa-dosanya. Setelah pengakuan dosa selesai, petani itu merasa seperti lepas dari jerat setan. Begitu gembiranya, sampai-sampai dia menceritakan pengalamannya kepada banyak orang, termasuk kepada Nyonya Gondi.
Romo Vincentius dan Nyonya Gondi berpikir demikian: “Kalau tokoh umat yang dianggap saleh ini ternyata di ambang kebinasaan abadi, apalagi orang-orang lain yang kelakuannya jelas-jelas lebih jelek daripada tokoh umat tadi”. Maka pada tanggal 25 Januari 1617 Vincentius memberi kotbah mengenai pengakuan dosa seluruh hidup di Gereja Folleville. Umat berbondong-bondong datang untuk mendengarkan kotbah dan mengakukan dosa mereka. Berkat pengalaman ini Vincentius menyadari betapa terlantarnya umat daerah pedesaan dalam hal iman. Ia merasa terpanggil untuk mengarahkan seluruh hidupnya bagi pembinaan iman umat daerah pedesaan. Dari pengalaman ini lahirlah Misi Umat dan Kongregasi Misi.
Châtillon-les-Dombes
Pada masa Pra-paskah tahun 1617, Vincentius meninggalkan keluarga Gondi dan menjadi Pastor Paroki Châtillon-les-Dombes (Lyon). Pada suatu hari Minggu, di bulan Agustus, saat mempersiapkan diri di Sakristi untuk Misa, Vincentius mendapat kabar bahwa ada sebuah keluarga yang semua anggotanya sakit parah dan terlantar. Tidak ada seorang pun yang merawat mereka. Sesudah mendapatkan berita itu, Vincentius berkotbah dan mendorong umat supaya menolong keluarga itu. Sore harinya, setelah selesai bertugas di Gereja, Vincentius mengunjungi keluarga tersebut dan ternyata ia melihat begitu banyak umat yang berbondong-bondong dan membawakan makanan bagi keluarga itu.
Dari peristiwa ini, Vincentius menarik kesimpulan berikut: Ternyata ada banyak umat yang rela membantu. Akan tetapi bantuan makanan yang diberikan kepada keluarga itu terlalu banyak dan tentu makanan itu akan menjadi busuk dalam satu dua hari lagi. Maka, bantuan untuk orang yang membutuhkan harus diorganisir dengan baik supaya bantuan itu sungguh efektif. Menindaklanjuti hal itu, Vincentius membentuk “Persaudaraan Kasih”, yaitu suatu perkumpulan umat awam yang bertujuan menolong orang miskin secara terencana dan terorganisir. Perkumpulan itu kemudian akan menyebar ke seluruh Perancis, bahkan ke seluruh dunia.
Kita dapat menyimpulkan bahwa dua peristiwa di atas menentukan suatu arah baru bagi hidup Vincentius. Perlu ditambahkan pula bahwa pertemuan pribadi antara Vincentius dan seorang santo sejati, yakni S. Fransiskus dari Sales, pada tahun 1618, akan sangat menolong Vincentius untuk tinggal landas menuju tahap kesucian.
3
DAYA CIPTA YANG SUBUR (1620-1834)
Sekarang Vincentius mengerti arah hidupnya: “Misi” untuk menolong orang kristiani di daerah pedesaan yang sangat terlantar dalam hal pembinaan iman, dan “Kasih” untuk menolong orang miskin secara jasmani.
Dari Misi ke Kongregasi Misi
Selama sekitar tujuh tahun Vincentius menyibukkan diri untuk memberi Misi Umat di desa-desa yang termasuk wilayah kekuasaan keluarga Gondi. Di dalam Misi Umat, selama satu atau setengah bulan, Vincentius – dengan bantuan satu atau dua imam – menetap di satu desa untuk mengajar katekismus dan menuntun umat pada pertobatan. Tetapi lama kelamaan disadari bahwa karya penting ini tidak cukup kalau ditangani secara pribadi oleh satu orang. Maka pertama-tama Vincentius mencoba menyerahkan karya itu kepada salah satu Kongregasi. Tetapi tidak ada yang sanggup menerimanya. Maka pada tanggal 17 April 1625 Vincentius bersama keluarga Gondi menandatangani sebuah kontrak yang menetapkan berdirinya Kongregasi Misi dengan modal pertama 45.000 lire yang disumbangkan oleh keluarga Gondi. Kongregasi Misi (CM) diwajibkan memberi Misi Umat di desa-desa saja secara gratis.
Pada tahun 1626 Kongregasi itu hanya mempunyai tiga anggota. Tetapi tahun 1631 jumlah imam CM mencapai empatbelas orang. Sejak awal tahun 1632 para imam CM menempati biara Saint-Lazare. Karena itu mereka disebut juga Lazaris. Mereka semua sibuk secara khusus untuk memberi Misi di desa-desa.
Tetapi pelan-pelan Vincentius dan kawan-kawannya menyadari bahwa umat daerah pedesaan terlantar sebagai orang beriman karena kemerosotan rohani para imam. Maka mulai dipikirkan pembinaan para imam. Diawali dengan mengumpulkan para calon tahbisan selama 20 hari untuk retret persiapan tahbisan. Namun akhirnya disadari bahwa 20 hari sangat singkat. Maka waktunya diperpanjang sampai beberapa tahun dan akhirnya menjadi Seminari.
Pada tahun 1633 di Saint-Lazare dimulai juga suatu kegiatan yang nanti akan dikenal sebagai “Konferensi hari Selasa”. Banyak Romo dari kota Paris dan sekitarnya dikumpulkan untuk membahas bersama salah satu tema yang berhubungan dengan kehidupan para imam.
Dari karya kasih ke Puteri Kasih
“Persaudaraan Kasih” yang dirintis di Châtillon-les-Dombes pada tahun 1617 mengalami perkembangan yang besar, karena di semua desa yang menerima Misi Umat didirikan perkumpulan itu. Akhirnya di kota Paris juga dan di beberapa kota lain dibentuk Persaudaraan Kasih. Tentu kelompok baru itu membutuhkan pembinaan terus menerus. Maka Vincentius dan para Romo lain bergerak untuk melakukan pembinaan ini.
Pada tahun 1624 Vincentius berkenalan dengan Luisa de Marillac, yang suaminya baru saja meninggal. Selama beberapa tahun Vincentius membina wanita muda itu dan sejak tahun 1629 Luisa dilibatkan dalam pembinaan Persaudaraan Kasih.
Pelan-pelan Vincentius mengamati adanya suatu kelemahan yang tak dapat diabaikan dalam Persaudaraan Kasih. Terutama di kota-kota, ibu-ibu dari Persaudaraan Kasih menyediakan bantuan bagi orang-orang miskin. Tetapi yang membawa bantuan kepada orang miskin ialah pembantu rumah tangga mereka. Vincentius merasa bahwa pembantu rumah tangga bisa membawa makanan, tetapi belum tentu dengan semangat kasih. Untunglah beberapa gadis desa datang kepada Vincentius dan Luisa. Mereka menawarkan diri untuk berkarya demi orang miskin. Vincentius menyerahkan gadis-gadis itu kepada Luisa untuk dibina. Para gadis ini membantu di paroki-paroki di kota Paris. Mereka mengunjungi orang miskin dan terutama orang sakit. Gadis pertama yang datang kepada Vincentius ialah Margareta Naseau. Tetapi setelah beberapa waktu, ia meninggal karena tertular penyakit pes ketika merawat orang sakit.
Pada tanggal 29 November 1633, gadis-gadis itu berkumpul secara resmi di rumah Luisa de Marillac sebagai sebuah komunitas Suster dengan nama Serikat Puteri Kasih. Tetapi mereka tidak terkurung dalam biara, melainkan bebas melayani orang miskin di mana saja. Itulah serikat pertama para suster, dalam sejarah Gereja, yang tak tertutup dalam biara.
Dengan demikian Vincentius sudah berhasil membentuk satu barisan sukarelawan-sukarelawati yang siap membantu orang-orang miskin secara rohani dan jasmani.
4
MASA PANEN (1634-1653)
Abad XVII di Perancis dikenal sebagai “le grand siècle” (abad yang agung), karena pada abad itu Perancis mengalami masa yang cemerlang, terutama dalam bidang politik.Tetapi rakyat Perancis tak pernah menderita seperti pada abad ini. Oleh karena itu, abad ini disebut juga “abad orang miskin”. Pada abad orang miskin itu, Allah membangkitkan pula “Bapak orang miskin”, yaitu Vincentius a Paulo. Seluruh keluarga besar yang telah dihimpun Vincentius siap melayani orang kecil dan meringankan penderitaan mereka. Adapun penderitaan itu dipicu oleh panen jelek, penyakit pes dan terutama oleh perang.
Selama beberapa tahun, malapetaka perang menghantam daerah Lorraine, Piccardie, Champagne dan Ile de France. Para tentara merampas atau menghancurkan segalanya sehingga masyarakat sangat menderita. Dan tentu Vincentius tak dapat diam berhadapan dengan penderitaan rakyat kecil. Ia menggerakkan seluruh “balatentaranya” untuk meringankan kesusahan rakyat. Para ibu-ibu Persaudaraan Kasih mengumpulkan dana yang sangat banyak, sedangkan banyak anggota CM dan Puteri Kasih terjun di tengah umat yang menderita untuk membawa dana dan bantuan yang diperlukan. Kasih benar-benar menjadi subur.
Banyak orang – karena terdesak oleh situasi yang gawat – meninggalkan daerah perang dan mengungsi ke Paris. Mereka itu meliputi antara lain orang miskin (15.000 orang), gadis-gadis (800 orang), anak-anak dan para biarawati. Dan semua ditampung dan ditolong oleh Vincentius dan kelompok-kelompok yang dibina olehnya. Beberapa Romo dan seorang Suster meninggal selama melayani orang miskin. Namun Vincentius tak pernah mengalami kesulitan untuk mencari Romo dan Suster yang rela mengganti para martir cintakasih itu.
Kelompok lain yang sangat membutuhkan perhatian ialah “anak terbuang”. Cukup banyak ibu tidak mempunyai kasih dan tanggung jawab terhadap anak yang baru mereka lahirkan; maka bayi-bayi itu dibuang di depan Gereja. Karena itulah para bayi ini disebut “anak terbuang”. Sebetulnya sudah ada satu karya yang didirikan untuk menampung mereka, namanya “La Couche” (dalam bahasa Perancis : tempat untuk membaringkan anak-anak). Tetapi, berdasarkan pengamatan Vincentius, di tempat itu anak diperlakukan secara tidak manusiawi. Maka akhirnya Vincentius mendorong ibu-ibu Persaudaraan Kasih untuk menampung mereka. Semua anak terbuang dapat diterima oleh putera-puteri Vincentius dan dirawat secara manusiawi dan kristiani. Karya ini menghadapi aneka kesulitan dan tantangan karena jumlah anak terbuang tersebut amat banyak. Pada tahun 1643, anak yang ditampung berjumlah 1200. Luisa de Marillac paling disibukkan oleh karya ini, sebab dia bersama para susternya langsung menanganinya. Kalau usaha ini bertahan terus, Luisalah yang paling berjasa.
Masalah sosial lain yang menarik perhatian Vincentius dan putera-puterinya ialah para pendayung galea. Galea adalah kapal perang. Di dalam kapal itu, para narapidana dihukum untuk mendayung galea itu. Vincentius memberi komentar ini: “Saya melihat sendiri bahwa mereka diperlakukan seperti binatang”.
Pada tanggal 8 Februari 1619 Vincentius diangkat sebagai Kapelan Armada Perang. Maka dia berusaha bersama putera-puterinya untuk memperbaiki perlakuan terhadap mereka dan untuk membina mereka secara rohani melalui Misi Umat. Tinggal di tengah-tengah narapidana merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Namun Vincentius dan Luisa tidak segan-segan melibatkan Puteri Kasih dalam karya ini. Rencana ini dapat diwujudkan pada tahun 1640. Para Suster Puteri Kasih ditugaskan untuk pemeliharaan para pendayung galea dalam sebuah penjara di Paris.
Beberapa puluh ribu orang kristiani Eropa (mungkin 50.000) menderita di Afrika Utara sebagai budak. Beberapa Romo dan Bruder ditugaskan oleh Vincentius untuk menolong mereka secara rohani dan jasmani. Dan mereka berhasil membebaskan 1.200 budak dengan biaya yang sangat tinggi.
Perhatian Vincentius tidak hanya terarah kepada Gereja Perancis, melainkan juga kepada Gereja seluruh dunia. Pada tahun 1639, ia mula-mula mengutus anggota CM ke Roma, lalu pada tahun 1645 ke Genova dan Tunisia, kemudian ke Irlandia, Skotlandia dan Polandia. Akhirnya pada tahun 1654, karya CM mulai berkembang di Turino dan di Aljazair. Pada tahun 1652 Romo Taddeus Lee, putera Irlandia, menjadi martir CM pertama di negaranya sendiri. Di beberapa tempat lain juga, terutama di Genova, beberapa anggota CM menjadi martir cintakasih karena merawat orang yang sakit pes.
Tetapi karya terberat, yang berada di luar wilayah Perancis, yang dihadapi Vincentius ialah karya di Madagaskar. Dari tahun 1648 sampai tahun 1660 Vincentius mengutus enam kelompok misionaris CM ke pulau Afrika Timur itu. Tiga kelompok pertama sampai di pulau itu, sedangkan tiga kelompok terakhir tak berhasil sampai karena keganasan lautan Atlantik. Selama waktu yang cukup singkat tujuh anggota CM meninggal setelah mencapai tujuan. Seorang meninggal dalam perjalanan dan 13 yang lain berangkat tetapi tak pernah sampai ke tujuan. Hanya dua Romo dapat merintis pembangunan Gereja di pulau itu, yaitu Romo Nacquart yang bertahan sekitar satu setengah tahun, dan Romo Bourdaise yang dapat berkarya selama hampir tiga tahun, sebelum diserang penyakit disentri yang hebat.
Dari tahun 1643 sampai dengan tahun 1652 Vincentius menjadi anggota Dewan Hati Nurani, yang bertugas memberikan nasihat kepada Ratu dalam segala urusan kenegaraan. Vincentius berjasa terutama karena perjuangannya mengusahakan agar para uskup dipilih dari antara imam-imam yang baik dan pantas.
6
SENJA YANG CERAH (1653-1660)
Di usia senjanya, Vincentius tidak bisa bergerak kemana-mana untuk membina karya-karyanya. Kondisi kesehatannya tidak sebaik seperti ketika ia masih muda. Kendati demikian, dia tetap membina putera-puterinya, melalui surat-surat dan konferensi-konferensi. Di samping itu dia menyelesaikan menyusun Peraturan CM, yang disetujui oleh Uskup Paris, atas nama Paus; demikian pula, ia mendapat persetujuan dari Uskup Paris untuk Serikat Puteri Kasih.
Sejak tahun 1656 kesehatan Vincentius sangat menurun. Tetapi Vincentius sudah siap menghadap Bapa. Pada tgl. 14 Februari 1660 Romo Antoine Portail, yang demikian dekat dengan Vincentius sejak usia muda, meninggal, dan pada 15 Maret, pada tahun yang sama, Luisa de Marillac wafat pula.
Kepergian sahabat-sahabat semakin mempersiapkan diri Vincentius untuk melepaskan diri dari segala ikatan duniawi. Pada akhir September 1660, ketika menghadapi ajalnya, Vincentius tampak begitu damai dan pasrah kepada kehendak Allah. Pada tanggal 27 September pagi, ia menghembuskan nafas terakhir dengan damai. Kendati telah wafat, semangat misi dan cinta kasih Vincentius tetap menyala dan menjiwai demikian banyak orang di seluruh dunia.
Romo Silvano Ponticelli, CM